Apa yang anda kagumi dari profesi kesehatan & keperawatan

Minggu, 24 April 2011

ASKEP SECTIO CESAREA

BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi
Sectio Cesarea adalah suatu cara untuk melahirkan janin melalui sayatan pada dinding uterus yang ancangannya dilakukan melalui dinding depan abdomen (Rustam Mochtar, 1992).
Pakar Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan lainnya (Sarwono, 1991), mendefinisikan SC sebagai suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
Dengan demikian SC adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dilanjutkan dengan uterus bagian depan sehingga janin dapat dilahirkan melalui dinding rahim dan selanjutnya dinding abdomen dalam keadaan sehat.

B. Indikasi Sectio Cesarea
Operasi SC dilakukan jika kelahiran pervaginam diramalkan akan dapat menimbulkan risiko pada ibu maupun janin. Indikasi SC terbagi atas indikasi ibu dan indikasi janin, beberapa indikasi SC pada ibu adalah :
1. Ketidakseimbangan antar ukuran kepala janin dan panggul panggul ibu (Disproporsi sefalopelvik / CPD).
2. Disfungsi uterus
3. Distosia jaringan lunak
4. Plasenta previa
5. His lemah
6. Ruptura uteri mengancam
7. Primimuda atau tua
8. Partus dengan komplikasi
9. Problema plasenta
Berikut ini adalah suatu keadaan janin yang merupakan indikasi untuk dilakukannya SC, beberapa indikasi pada janin adalah :
1. Janin besar
2. Gawat janin
3. Janin dalam posisi sungsang atau melintang
4. Fetal distress
5. Kalainan letak
6. Hydrocephalus

C. Kontraindikasi Sectio Cesarea
Kontraindikasi merupakan suatu keadaan dimana SC tidak layak atau pun tidak boleh dilakukan, pada umumnya kontraindikasi SC bilamana terdapat keadaan seperti dibawah ini:
1. Bila pada pemeriksaan didapatkan janin yang dikandung telah mati.
2. Klien dalam keadaan syok.
3. Anemi berat yang belum diatasi.
4. Kelainan kongenital berat pada janin.

D. Jenis Pendekatan / Ancangan Sectio Cesarea
1. Sectio Cesarea Transabdominalis Transperitonealis
SC transabdominalis/transperitonealis disebut sebagai SC klasik atau korporal pada jenis ini insisi dilakukan memanjang pada corpus uteri. Ancangan ini dilakukan melalui sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan dari ancangan ini adalah dapat mengeluarkan janin dengan cepat, tidak mengakibatkan cidera pada kandung kemih dan bila diperlukan sayatan bisa diperpanjang kearah proksimal maupun distal.
Kekurangan pada SC Transabdominalis adalah: Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena selaput peritoneum dibuka dan sering tidak dapat tertutup dengan baik, pada ancangan ini juga lebih berisiko untuk terjadinya ruptur uteri spontan bila pada persalinan kehamilan berikutnya dilakukan secara pervaginam (SC isthmus atau profunda /low cervical incision).
2. Sectio Cesarea Transabdominalis Extraperitoneal
SC Ekstra Peritoneal dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm, tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka rongga abdomen. Kelebihan metoda ini adalah penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, perdarahan tidak begitu banyak dan kemungkinan ruptur uteri spontan berkurang.
Kekurangan SC jenis ini adalah luka operasi dapat melebar kekiri atau kekanan ataupun kebawah sehingga dapat menyebabkan robekan pada uterus yang mengakibatkan perdarahan cukup banyak, dan pada SC jenis ini sering muncul keluhan gangguan kandung kemih pasca operasi.
3. Sectio Cesarea Tranvaginalis
Menurut sayatan pada rahim, SC dapat dilakukan sebagai berikut (Mochtar, Rustam, 1992): sayatan memanjang (longitudinal), sayatan melintang (Transversal ) dan sayatan huruf T (T insicion).

E. Komplikasi Operasi SC
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
1. Infeksi puerperal (Nifas)
• Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
• Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung
• Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan
• Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka.
• Perdarahan pada plasenta bed.
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi.
4. Kemungkinan ruptur tinggi spontan pada kehamilan berikutnya.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Golongan darah
2. Pemantauan kondisi janin ( DJJ, Dopler, Partogram)
3. Pemantauan EKG
4. Elektrolit
5. Hemoglobin / Hematokrit
6. Urinalisis
7. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
8. Ultrasound sesuai pesanan dokter.
9. Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.

G. Asuhan Keperawatan Sectio Caesarea
Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien. Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: Pengkajian keperawatan (identifikasi, analisa masalah / data) dari diagnosa Keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
1. Pengkajian
1. Sirkulasi : Kehilangan darah selama prosedur kira-kira 400 – 500 cc.
2. Makanan / cairan : Abdomen lunak tidak ada distensi.
3. Neurosensori : Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat anestesi spinal epidural
4. Nyeri / Ketidaknyamanan: Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya trauma bedah atau insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih atau abdomen, efek-efek anestesi, mulut kering.
5. Pernafasan : Bunyi paru jelas dan vasikuler.
6. Keamanan : Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda darah atau kering.
7. Organ Reproduksi : Fundus uteri berkontraksi kuat dan terletak di umbilicus.
8. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan berlebihan atau banyak.


2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengeos E.marllyn (2001), Diagnosa keperawatan pada klien pra dan pasca SC adalah sebagai berikut :

1. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur perawatan sebelum dan sesudah melahirkan melalui operasi SC
2. Nyeri berhubungan dengan kondisi pasca operasi
3. Cemas berhubungan dengan ancaman pada konsep diri.
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan merasa gagal dalam kehidupan.
5. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi fisiologis dan cidera jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, penurunan Hb, pasca prosedur invasif.
7. Gangguan pola eliminasi, konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot.
8. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan cidera operasi dan efek anestasi
9. Kurangnya pemahaman mengenai perubahan fisiologi pada masa pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya informasi.

3. Rencana Asuhan Keperawatan.

Tahap perencanaan merupakan tahap penentuan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan atas tindakan yang telah direncanakan. Intervensi dari diagnosa keperawatan diatas haruslah tepat dan mempunyai dampak ungkit dalam mengatasi masalah yang ada, permasalahan yang mungkin muncul pada klien pra & pasca SC adalah :

1. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan melalui operasi SC.

Tujuan : Klien dapat memahami tentang prosedur proses persalinan melalui SC dan bersedia bekerjasama dalam persiapan pra bedah
Kriteria hasil :
o Klien memahami prosedur persalinan melalui SC
o Klien bersedia bekerja sama dalam persiapan pra bedah.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien dan orang terdekat alasan untuk SC.
2. Jelaskan prosedur praoperasi dan kemungkinan resiko yang dapat terjadi (Informed Consent).
3. Berikan kesaksian dalam proses penandatanganan persetujuan tindakan.
4. Dapatkan tanda vital dasar.
5. Kolaborasi dalam pemriksaan Lab. (DPL, elektrolit, golongan darah dan urine).

2. Nyeri berhubungan dengan kondisi pasca operasi.
Tujuan : Rasa nyeri hilang
Kriteria Hasil :
o Klien mampu mengungkapkan rasa nyeri dan menggunakan rencana untuk mengatasi nyeri atau ketidak nyamanan serta mengungkapkan berkurangnya nyeri.
o Klien tampak santai serta dapat tidur atau cukup beristirahat.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri dan lokasi ke tidaknyamanan.
2. Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab ketidaknyamanan.
3. Evaluasi tekanan darah dan nadi dan perhatikan perubahan perilaku.
4. Ubah posisis klien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan.
5. Ajarkan latihan relaksasi napas dalam bila nyeri ada.
6. Anjurkan tekhnik distraksi dan relaksasi.
7. Kaji rasa nyeri tekan uterus dan perhatikan infus oksitoksin pasca operasi.
8. Anjurkan mobilisasi dini dan menghindari makanan yang mengandung gas.
9. Palpasi kandung kemih dan perhatikan adanya rasa penuh.
10. Berikan analgesik sesuai yang diresepkan oleh dokter.

3. Cemas berhubungan dengan ancaman pada konsep diri.
Tujuan : Cemas tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mengerti, memahami dan mampu mengungkapkan cemas serta mampu mengidentifikasi cara untuk menurunkan tingkat atau menghilangkan cemas secara mandiri.
o Klien mengatakan bahwa cemas sudah terkendali dan berada pada keadaan yang dapat ditanggulangi.
o Klien terlihat santai serta dapat tidur dan beristirahat dengan cukup.
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
2. Bantu klien mengidentifikasikan mekanisme koping yang lazim dan mengembangkan strategi koping yang dibutuhkan.
3. Berikan informasi yang akurat tentang keadaan klien maupun bayinya.
4. Anjurkan klien untuk sering kontak dengan bayi sesegera mungkin.

4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan merasa gagal dalam kehidupan.
Tujuan : Perasaan harga diri rendah situasional tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu mendiskusikan masalah berhubungan dengan peran dan persepsi terhadap pengalaman kelahiran.
o Klien atau pasangan dan mampu mengekspresikan harapan diri yang positif.
Intervensi :
1. Tentukan respon emosional klien atau pansangan terhadapn kelahirsn SC.
2. Kaji ulang partipasi dan peran klien / pasangan dalam pengalaman kelahiran.
3. Beritahukan klien tentang hampir samanya antara kelahiran SC dan kelahiran melalui vagina.

5. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi fisiologis dan cidera
jaringan.
Tujuan : Resiko tinggi terhadap gangguan dan cidera tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu menerapkan perilaku untuk menurunkan risiko cidera dan perlindungan diri agar dapat bebas dari komplikasi.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital.
2. Observasi balutan terhadap perdarahan yang berlebihan.
3. Perhatikan kateter, jumlah lokia dan konsistensi fundus.
4. Pantau asupan cairan dan pengeluaran urin.
5. Anjurkan latihan kaki / pergelangan kaki dan ambulasi dini.
6. Anjurkan klien untuk merubah selalu posisi tubuh (duduk, berbaring dalam posisi datar).
7. Observasi daerah luka operasi (apakah sudah ada perubahan kearah penyembuhan atau tanda-tanda infeksi).
8. Observasi daerah ekstremitas bawah terhadap tanda tromboplebitis.
9. Berikan cairan infus sesuai dengan program.
10. Periksa Hb, Ht pasca operasi bandingkan dengan kadar pra operasi.

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, penurunan Hb, prosedur invasif.
Tujuan : Risiko tinggi infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan teknik untuk menurunkan resiko dan meningkatkan penyembuhan.
o Klien tidak demam / bebas dari infeksi.
Intervensi :
1. Anjurkan dan gunakan teknik a & antiseptik.
2. Perhatikan faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi.
3. Observasi balutan abdominal terhadap eksudat atau rembesan
4. Ganti balutan luka bila basah.
5. Observasi luka insisisi terhadap proses penyembuhan.
6. Dorong klien untuk mandi air hangat setiap hari tetapi tidak mengenai luka operasi.
7. Berikan antibiotik sesuai pesanan oleh dokter.

7. Gangguan pola eliminasi, konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot.
Tujuan : Konstipasi tidak terjadi

Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan kembalinya motilitas usus yang dibuktikan oleh bising usus dan keluarnya flatus.
o Pola eliminasi klien kembali normal.
Intervensi :
1. Auskultasi bising usus.
2. Palpasi abdomen, perhatikan distensi atau ketidak nyamanan
3. Anjurkan makanan yang berserat tinggi
4. Anjurkan untuk ambulasi dini
5. Anjurkan cairan oral yang adekuat (misal : 6-8 gelas/hari).
6. Identifikasi aktivitas klien yang dapat merangsang kerja usus.
7. Berikan pencahar sesuai dengan pesanan dokter

8. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan cidera operasi dan efek anestasi.
Tujuan : Gangguan eliminasi urin tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mendapatkan pola berkemih yang biasa / optimal setelah pengangkatan kateter.
o Mekanisme mengosongkan kandung kemih pada setiap berkemih dapat terjadi.
Intervensi :
1. Perhatikan dan catat jumlah dan warna urin.
2. Berikan cairan peroral (6-8 gelas/hari ).
3. Palpasi kandung kemih, pantau tinggi fundus uteri, lokasi dan jumlah aliran lokia.
4. Perhatikan tanda dan gejala ISK ( warna keruh, bau busuk, sensasi terbakar setelah pengangkatan kateter).
5. Gunakan metode untuk memudahkan pengangkatan kateter setelah berkemih (membasuh dengan air hangat ke perineum ).
6. Lepaskan kateter sesuai indikasi (biasanya 6-12 jam post partum).

9. Kurangnya pemahaman mengenai perubahan fisiologi pada masa pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi berhubungan dengan kurangnyainformasi.

Tujuan : Ibu mengerti tentang perawatan bayi
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang perubahan fisiologi pada masa pemulihan, kebutuhan perawatan diri dan perawatan bayi.

Intervensi :
1. Berikan informasi tentang perubahan fisiologis dan psikologis yang berkaitan dengan kelahiran SC.
2. Kaji pengetahuan dan motivasi klien untuk belajar.
3. Kaji tanda atau gejala yang perlu perhatian khusus (demam, disuria dan peningkatan jumlah lokia ).
4. Berikan penyuluhan tertulis dengan menggunakan format yang distandarisasi.
5. Perhatikan status psikologis dan respon terhadap SC serta peran menjadi ibu.
6. Kaji ulang pemahaman klien tentang perawatan diri (perawatan perineal, perawatan luka dan personal hygine).
7. Ajarkan cara perawatan bayi.
8. Berikan informasi tentang Keluarga Berencana dan keuntungan beserta kerugiannya.

D. Pelaksaaan Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Didalam pelaksanaannya terdapat tidak terlepas dari berbagai upaya upaya lain dalam hal kolaborasi, memfasilitasi koping, kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan pelaksanaan keperawatan antara lain :

1. Persiapan.
Perawat menyiapkan segala sesuatu yang perlu dalam tindakan keperawatan, yaitu memahami tindakan keperawatan yang telah diidentifikasikan pada tahap intervensi, menganalisa pengetahuan dan ketermpilan yang diperlukan, memprediksi komplikasi yang mungkin terjadi, menilai kelengkapan persyaratan dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Selain persiapan diatas, diperlukan pula keterampilan untuk mengidentifikasi implikasi aspek hukum dan kode etik yang mungkin muncul sebagai risiko dari kesalahan tindakan.
2. Intervensi.
Tujuan intervensi keperawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien. Adapun sifat tindakan keperawatan yaitu independen, interindependen dan dependen.
3. Dokumentasi.
Mendokumentasikan proses keperawatan secara lengkap dan akurat adalah merupakan suatu prasyarat mutlak yang dituntut dalam semua aspek asuhan keperawatan.
4. Evaluasi.
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Tujuan evaluasi ialah menilai capaian Dx, intervensi keperawatan dan mengevaluasi kesalahan yang terjadi selama pengkajian, analisa, intervensi maupun pada tahap implementasi. Bentuk evaluasi yang dilakukan dapat dalam bentuk A. Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi setelah rencana keperawatan dilakukan untuk membantu keefektifan tindakan yang dilakukan secara berkelanjutan hingga tujuan tercapai. B. Evaluasi Sumatif, adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tindakan keperawatan secara obyektif, fleksibel dan efisien.



BAB IV
P E N U T U P

Penutup
Operasi SC merupakan salah satu operasi yang paling sering dilakukan di RS, dalam melaksanakan operasi SC paling tidak harus terdapat dokter spesialis Kebidanan, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis anak, bidan, penata anestesi dan perawat mahir neonatus.
Dalam pelaksanaanya keterpaduan, ketepatan dan kecepatan kerja sama tim sangat diperlukan demi keberhasilan operasi.

1. Kesimpulan
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien pre dan pasca SC, terdapat 4 hal penting yang secara terus menerus harus diperhatikan, keempat hal tersebut adalah :

1. Pemahaman terhadap sifat kegawatdaruratan yang dapat mengancam dua kehidupan sekaligus yaitu Ibu dan bayinya.
2. Pemahaman respons fisik tubuh klien terhadap luka operasi serta berbagai masalah yang dapat mempengaruhinya.
3. Pemahaman respons psikis klien berkaitan dengan operasi yang akan dilaksanakan pada dirinya maupun pada citradiri pasca operasi,
4. Pemahaman pada upaya mempersiapkan ibu dan bayi untuk perawatan mandiri dirumah merupakan hal penting yang perlu dibahas secara bersama.

2. Saran
Penulisan makalah berbagai macam asuhan keperawatan yang sering dijumpai di RS, merupakan satu cara agar agar mahasiswa lebih cepat dapat menguasai berbagai materi yang perlu tetapi belum sempat diberikan dalam perkuliahan. Selain itu dalam menuliskan asuhan keperawatan beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :
1. Perumusan diagnosis yang tepat akan membantu dalam proses perencanaan keperawatan.
2. Dalam menentukan dan menyusun intervensi keperawatan, harus didasarkan pada kebutuhan klien yang sangat mendesak.
3. Implementasi keperawatan harus sesuai dengan rencana intervensi yang telah ditetapkan.
4. Evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan, merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan klien, Jakarta : EGC
2. Muchtar, Rustam,(1998), Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.
3. Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
4. Sarwono Prawiroharjo,(1999)., Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
5. Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Rabu, 14 April 2010

APA & BAGAIMANAKAH INFERTILITAS PADA PRIA ( TINJAUAN PUSTAKA )

Anna Habayahan

I. Pendahuluan

A. Pengertian

Andrologi adalah cabang dari Ilmu Kedokteran yang membahas fungsi reproduksi dan seksual pria baik dalam kondisi normal (fisiologis) maupun dalam kondisi tidak normal atau tidak sehat (patologis). Ilmu ini mulai dipelajari sejak akhir tahun 1960dan mulai berkembang maju sejak tahun 1969, secara terminologi Andros dalam bahasa Yunani berarti pria sedangkan Logos adalah ilmu, bidang keilmuan Andrologi juga mencakup diagnosis infertilitas pria, teknik pengobatan, upaya untuk meningkatkan kesuburan, layanan embriologi seperti fertilisasi in vitro (IVF) dan embrio cryopreservation, layanan konsultasi, riset infertilitas, bank gamet dan embrio serta layanan kesehatan & pendidikan
Didalam perkembangannya Andrologi banyak menyelidiki berbagai masalah kesehatan reproduksi dan traktus urogenitalis (saluran kemih dan kelamin) pria serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kemajuan luar biasa dalam penelitian dasar dan klinis selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan peningkatan besar dalam pemahaman tentang fungsi reproduksi pria, bahkan saat ini Andrologi sudah menjadi satu bidang Ilmu spesialisasi kedokteran sendiri yang disebut sebagai spesialis andrologi (Sp.And).
Keterkaitan antara Andrologi dengan ilmu kedokteran lain terutama Ilmu Kedokteran Spesialistik sangatlah erat, sebagai contoh dengan Ilmu Bedah Urologi, Ilmu Penyakit Dalam, Neurologi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ilmu Kebidanan & Kandungan, Psikiatri dll. selain itu kemajuan dan perkembangan Andrologi pun banyak mendapat dukungan dari penelitian ilmiah dibidang Ilmu Kedokteran Subspesialistik seperti subspesialisasi metabolik & endokrinologi ilmu penyakit dalam, biologi molekuler, farmakologi terapan, psikoneurologi dan bahkan akhir-akhir ini telah berkembang wacana mengenai diagnosis dan intervensi dini yang berdasarkan pada ilmu kedokteran dasar embriologi.

B. Peran Andrologi dalam “Melenggkapi Kesempurnaan” hidup pria

Kekerapan infertilitas di Australia diperkirakan satu dari setiap 20 (5%) pria menderita infertilitas, di Indonesia sampai saat ini belum ada angka yang pasti. Sering terdengar ada pendapat dimasyarakat yang menyatakan bahwa “ketidaksuburan (ketiadaan buah hati dalam keluarga) terutama disebabkan oleh masalah pada wanita”, ternyata pada penelitian didapatkan satu dari lima pasangan infertil biasanya disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan pasangan prianya dan pada kenyataannya untuk mengatasi masalah infertilitas pada pria bisa menjadi hal yang jauh lebih sulit dibanding wanita.
Secara psikis pada umumnya pria setelah mengetahui bahwa dirinya menderita infertilitas maka ia akan dapat menjadi stres, frustrasi, dan merasa bahwa dunia ini sangat tidak adil pada dirinya. Pada keadaan tersebut pria sering terkejut dan merasa terpukul setelah menyadari bahwa kesulitan dalam memiliki anak kandung disebabkan oleh masalah gangguan reproduksi dari dirinya sendiri. Reaksi kejiwaan tersebut muncul pada hampir sebagian kasus yang berobat, pada pemeriksaan lanjut hampir tidak dapat ditemukan kelainan apapun yang dapat menjelaskan terjadinya tidak ada sperma dalam cairan ejakulat (azoospermia). Studi kasus lebih lanjut menyimpulkan banyak laki-laki infertil ternyata masih mungkin memiliki keturunan, pada beberapa pasangan dapat diketahui penyebab infertilitasnya serta mendapat pengobatan yang sesuai dan akhirnya berhasil memiliki keturunan, tetapi sebagian pasangan lain tidak dapat diobati dengan metoda apapun sehingga terpaksa harus mengadopsi anak atau cukup menjadi orangtua asuh ataupun dapat menggunakan kemajuan teknologi reproduksi seperti menjadi recipient sperma (gamet & sperma perbankan).
Pada umumnya penyebab infertilitas pada pria disebabkan oleh beberapa hal seperti volume cairan ejakulat yang terlampau sedikit, konsentrasi sperma terlalu sedikit (oligospermia), atau sama sekali tidak ada sperma dalam cairan ejakulat (azoospermia), motilitas dari sperma sangat lemah (asthenospermia) atau terdapat abnormalitas dari morfologi sperma (terato - spermia). Pada beberapa kasus infertilitas terjadi disebabkan karena kombinasi dua kelainan berikut yaitu jumlah sperma yang kurang (oligospermia) disertai dengan kualitas sperma yang rendah (hipomotilitas atau anomali sperma atau terato-spermia).
Karakteristik seksual dan fertilitas seorang pria tergantung pada fungsi normal dari sistem reproduksinya, didalam tubuh pria ada beberapa organ yang berperan secara bersama menyusun sistem reproduksi. Menurut lokasinya organ reproduksi / seksual pria terbagi atas: 1. Organ reproduksi / seksual yang letaknya mudah untuk dilihat / diperiksa dari luar misalnya penis dan skrotum, dan 2. Organ reproduksi / seksual yang letaknya tersembunyi di dalam tubuh sehingga sulit diperiksa misalnya organ-organ penghasil hormon androgen dan otak (karena berperan penting mengontrol fungsi reproduksi pria). Bentuk dari sistem reproduksi pria diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta sedemikian rupa sehingga mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi produksi membuat) sperma, fungsi deposit (menyimpan) sperma dan fungsi mentransfer memberikan) sperma ke tubuh wanita, artinya setiap organ tersebut mempunyai peran penting sehingga sperma yang dibuat dan disimpan dalam testis dapat tumbuh normal serta dapat pula dilepaskan ke organ seksual wanita saat melakukan hubungan seksual.

II. Peran andrologi dalam membantu mengatasi masalah infertilitas

Pada umumnya hampir 70% dari kondisi yang menyebabkan infertilitas pada pria dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, estimasi pada volume testis, assesment hormon androgen dan analisis sperma. Untuk menentukan pilihan pengobatan diperlukan pendekatan yang cermat dan rasional sehingga langkah pengobatan yang dilakukan sesuai bagi pasangan tersebut dan memberi hasil yang terbaik bagi pasangan tersebut. Dalam melakukan pendekatan, diperlukan pemeriksaan awal yang cermat untuk dapat mendeteksi kemungkinan terdapatnya penyakit atau kelainan lain seperti diabetes mellitus (lebih dari 50% diantaranya adalah impoten), hipertensi, perokok berat, pecandu alkohol, pasien dengan gangguan hati, ginjal dan penyakit jantung, pasangan yang sedang menjalani pengobatan untuk suatu penyakit seperti hipertensi, abses perut atau depresi berat atau pengaruh obat tertentu (karena lebih dari 250 obat diketahui menyebabkan impotensi), selain itu luka pada daerah panggul, genital atau riwayat operasi di daerah genital juga dapat menyebabkan impotensi karena pengaruh rusaknya pembuluh darah ataupun serat saraf sensorik yang mengurus sensitifitas penis.
Beberapa kelainan bentuk anatomi yang berkaitan dengan masalah infertilitas seperti pembengkakan pada pangkal paha (termasuk hernia femoralis), mikro penis, torsi penis dll, kelainan diatas dapat menyebabkan impotensi, infertilitas, gangguan ejakulasi, abnormalitas sperma dan penyakit kelamin. Sebagian besar penyebab infertilitas dapat disembuhkan dengan metoda Andrologi Modern. Kemajuan dalam bidang Andrologi ternyata mampu melakukan terobosan bermakna pada upaya pengobatan gangguan reproduks pria. Beberapa metoda penerapan andrologi modern saat ini makin dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteran dan kesempurnaan kehidupan berumah tangga.

III. Sistem Reproduksi Pria

Untuk mempelajari Ilmu Andrologi diperlukan pengetahuan dasar tentang sistem reproduksi pria. Sistem Reproduksi pria terdiri dari sejumlah organ yang bekerja bersama untuk menghasilkan spermatozoa, untuk sampai ke saluran reproduksi wanita. Sel germinal haploid berasal dari testis berproses dan mencapai maturasinya pada saat mencapai penghentian sementara di epididimis, selanjutnya Vas deferens membawa spermatozoa dari epididimis ke ampula, di ampula, spermatozoa bercampur dengan cairan vesikula seminalis, dan terus berlanjut mengikuti kanal ejakulasi melalui prostat dan pada akhirnya bermuara ke uretra. Sel-sel germinal tersebut akan bercampur dengan cairan ejakulat dari kelenjar seks aksesori (vesikula seminalis, prostat & kelenjar Cowper), Selanjutnya pada saat ejakulasi sperma akan dikeluarkan dari tubuh melalui uretra penis. Seluruh sistem itu tergantung pada mekanisme neuro-endokrin melalui pengaturan dan kendali dari hipofisis dan hipotalamus.
Pengetahuan tentang anatomi dan embriologi dari masing-masing komponen saluran reproduksi pria penting dalam mengembangkan pemahaman dasar dan sistem secara keseluruhan. Beberapa organ penting dalam sistem reproduksi pria adalah :

1.Testis

Testis merupakan pusat dari sistem reproduksi pria, Organ ini pula yang menghasilkan sel germinal haploid melalui proses spermatogenesis, dan juga menghasilkan hormon androgen. Secara embriologis testis berasal dari gonad primitif pada permukaan medial mesonefros embrionik, pada minggu ketujuh perkembangan janin, terjadi proliferasi dari mesenkim yang akan memisahkan korda seks dari epitel selom, pada bulan keempat korda seks melekuk menjadi berbentuk U sehingga dapat beranastomosis untuk membentuk rete testis. Pada fase ini sel kelamin primordial disebut sebagai pra-spermatogonium dan sel-sel epitel korda seks sebagai sel Sertoli.
Jaringan mesenkim di dalam ruang interstisial tubulus menghasilkan sel Leydig yang merupakan sel penghasil androgen. Rete testis meluas ke jaringan dan akan beranastomosis dengan tubulus mesonefrik membentuk duktus eferen yang akan berhubungan dengan epididimis. Testis abdominal selanjutnya akan turun ke dalam skrotum, gangguan pada fase ini akan menyebabkan masalah pada fertilitas. Skrotum dibentuk dari epitel selom yang menembus dinding perut dan membuat ridge genital sebagai prosesus vaginalis. Selanjutnya terjadi proses pembentukan fasia dinding abdomen dari sel epitel, dari proses tersebut juga dibentuk fasia skrotum, pada fase ini testis berjalan turun di belakang prosesus vaginalis dan menutupi lapisan fasia testis pada setiap sisi, selanjutnya kulit di atasnya menonjol membentuk tonjolan genital, dan akan berdiferensiasi membentuk skrotum.

2.Epididimis

Epididimis, vas deferens, dan vesikula seminalis berasal dari saluran mesonefrik (Kanal Wolffii). Pada awalnya dibentuk sebagai embrio awal sistem ekskretoris, sistem mesoneprik terdiri dari saluran longitudinal dan serangkaian cabang tubulus dari saluran yang menuju gonad. Meskipun sebagian besar akan desending, beberapa tubulus ini bertahan dan beranastomosis dengan pertemuan tubulus seminiferus (rete testis), membentuk duktus eferen (atau ductuli efferentes) melalui spermatozoa yang keluar dari testis. Bagian dari saluran mesonefrik yang terdekat dengan ductuli efferentes berelongasi, menjadi berbelit secara luas, dan membentuk epididimis. Oleh karena berasal dari satu saluran epididimis, tidak seperti testis, terdiri dari satu tubulus dimana semua spermatozoa harus dapat keluar. Epididimis bersama-sama dengan testis turun ke dalam skrotum. Fungsi epididimis testis adalah untuk mematangkan spermatozoa.

3.Vas deferens

Bagian dari saluran mesonefrik memanjang dari ujung kaudal epididimis ke vesikula seminalis selanjutnya akan menebal dan berotot dan membentuk vas deferens (atau duktus deferens). Bagian dari saluran yang kearah distal vesikula seminalis dikenal sebagai saluran ejakulasi dan berada di dalam kelenjar prostat. Fungsi utama dari vas deferens dan duktus ejakulasi adalah transportasi spermatozoa dewasa dan sekresi cairan vesikel seminalis ke uretra prostat.

4. Vesikula seminalis

Vesikula seminalis berkembang sebagai kantong luar dari saluran mesonefrik, dari distal epididimis. Fungsi vesikula seminalis menyumbangkan sebagian besar volume cairan ejakulat. Sekresi vesikula seminalis kaya fruktosa dan prostaglandin. Sementara fruktosa bisa menjadi sumber energi yang penting bagi spermatozoa, peran prostaglandin tidak diketahui. Vesikula seminalis juga memproduksi hormon androgen yang tergantung pada sekret protein yang terlibat dalam pembekuan cepat dari ejakulat.

5. Prostat

Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan di atas diafragma urogenital. Lokasinya langsung di sebelah anterior rektum memungkinkan prostat akan teraba dan dapat dibiopsi dari rektum. Prostat muncul dari beberapa pasangan berbeda tubulus primitif yang berevaginasi dari uretra posterior. Setiap rangkaian tubulus berkembang menjadi lobus terpisah, yaitu lobus kanan, kiri dan lobus lateral, lobus tengah, dan yang sangat kecil lobus anterior dan posterior. Lobus terdiri dari alveoli, dilapisi dengan epitel sekretorik, yang mengalir melalui serangkaian konvergen tubulus ke uretra prostat. Sekresi prostat berkontribusi terhadap volume cairan ejakulasi. Sekresi mengandung seng yang tinggi konsentrasinya, asam sitrat dan kolin, fungsi zat-zat ini tidak diketahui. Prostat juga mengeluarkan beberapa protein termasuk asam fosfatase, seminin, plasminogen aktivator dan prostate specific antigen (PSA). Fungsi dan peran yang definitif dari kebanyakan cairan prostat tidak diketahui, meskipun ada pendapat yang menyatakan zat-zat tersebut penting sebagai media bagi spermatozoa pada proses sebelum dan setelah ejakulasi. Misalnya saja plasminogen aktivator dan seminin adalah suatu protease yang berperan dalam proses liquification dari cairan ejakulat. Walaupun fungsi PSA tidak diketahui, tetapi peningkatan titer PSA dalam darah merupakan marker diagnostik hipertrofi prostat maligna atau karsinoma prostat.

6.Penis

Penis berasal dari tuberkulum genital, perkembangannya dipengaruhi oleh hormon androgen yang dihasilkan oleh testis janin, pada fase ini sel-sel kelamin berproliferasi menyebabkan pemanjangan tuberkulum kearah glans penis.
Uretra terbentuk dari lipatan uretra yang berelongasi kearah glans penis. Dalam penis dewasa uretra disekat oleh suatu membran dan berjalan kearah glans melalui diafragma urogenital, akhirnya uretra masuk kedalam struktur penis. Pada sisi lateral uretra terdapat dua struktur yang disebut korpus cavernosum dan berhubungan dengan pembuluh darah, pada keadaan kedua korpus terisi darah penis akan membesar dan tegang disebut sebagai ereksi penis. Mekanisme ereksi sangat kompleks dan terpengaruh pada banyak hal misalnya saja sejumlah gangguan klinis. Ereksi cukup penting untuk prose reproduksi, dan gangguan pada fungsi ereksi (disfungsi ereksi) merupakan masalah klinis yang menjadi perhatian dibidang Andrologi.

7. Endokrin dan saraf kendali atas saluran reproduksi pria

Seluruh sistem reproduksi pria dikendalikan oleh hormon-hormon untuk dapat berfungsi dengan semestinya. Hipotalamus mempengaruhi kelenjar hipofisis untuk menghasilkan Gonadotropin Hormon (GH), Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). FSH sendiri mengendalikan proses spermatogenesis dan LH menstimulasi produksi androgen oleh sel Leydig testis.
Testis memerlukan hormon testosteron untuk mempertahankan proses spermatogenesis dan organ-organ aksesori androgen tergantung pada fungsi sekretorik yang sesuai. Produksi LH diatur oleh mekanime umpan balik testosteron yang beredar di hipofisis dan hipotalamus. Sekresi FSH diatur oleh inhibin, sebuah peptida hormon yang dihasilkan oleh sel Sertoli, dan juga dengan mengedarkan testosteron. loop endokrin ini dikenal sebagai “Sumbu Hipotalamus-Hipofisis-Testis”. Selain kendali hormonal, organ reproduksi juga terpengaruh oleh kendali saraf simpatik dan parasimpatik. Hal ini terutama berlaku bagi fungsi ereksi penis, yang berada di bawah kontrol parasimpatis, dan untuk ejakulasi, yang berada di bawah kontrol simpatik.

IV. Keluhan dan gejala yang tampak pada penurunan hormon androgen

Beberapa keluhan dan gejala yang sering muncul pada kekurangan hormon testosteron adalah : Rasa lemah, perubahan suasana hati, lekas marah, kurang dapat berkonsentrasi, menurunnya kekuatan otot atau tulang, dan berkurangnya minat seks, gejala tersebut dapat menjadi tanda penurunan kadar testosteron yang juga disebut sebagai defisiensi androgen. Dalam beberapa keadaan kadar testosteron pria turun sampai pada titik dimana perawatan memang diperlukan. Kunjungan ke dokter setempat untuk pemeriksaan kesehatan umum dan tes darah untuk menguji kadar hormon secara akurat dapat menjadi langkah pertama menuju suatu peningkatan kualitas hidup. Setelah diagnosis ditegakkan, dilakukan pengobatan baik terhadap defisiensi androgen maupun terhadap penyebab yang melatar belakanginya. Manfaat terapi testosteron untuk laki-laki dengan defisiensi testosteron ini terbukti baik terutama bila dilakukan oleh dokter yang ahli dalam bidang andrologi, oleh karena bila muncul efek sampingnya akan dapat diketahui segera dan diatasi.
Kekurangan androgen mempengaruhi pria dari segala usia dan dapat disebabkan oleh genetik atau kelainan medis lain maupun kerusakan pada testis, kelainan diatas juga dapat terjadi sebagai bagian dari proses penuaan. Tidak seperti wanita yang kadar estrogen turun dengan cepat ketika mereka memasuki menopause, kadar testosteron pria berkurang sedikit demi sedikit secara bertahap. Dan tidak semua pria terlalu terpengaruh oleh penurunan kadar testosteron karena terdapat beberapa hal yang menjadi dasar dari insight mereka, beberapa pria karena terikat oleh kultur, budaya, adat, posisi dll seringkali tidak mengeluh apapun, oleh karena itu istilah-istilah seperti ”menopause laki-laki” dan “andropaus”' seringkali tidak cocok. Penting untuk memahami bahwa menurunnya kadar testosteron juga dapat menjadi tanda dari banyak penyakit lainnya, dalam kasus ini testosteron rendah adalah "gejala" dari masalah kesehatan utama dan bukan penyebabnya, seperti misalnya obesitas dan depresi dapat menurunkan kadar testosteron.
Terapi testosteron dilakukan bila terbukti terdapat defisiensi androgen dengan segala akibatnya, perawatan borderline atau pria dengan kadar testosteron normal juga dapat berisiko bagi kesehatan jantung dan prostat.

V. Pemeriksaan & Diagnosis

Dalam membuat diagnosis defisiensi androgen sejumlah tahap-tahap pemeriksaan harus dilakukan, diantaranya:
1. Riwayat kesehatan lengkap dan pemeriksaan fisik
2. Tes darah diambil paling tidak pada dua hari yang berbeda untuk mengukur kadar hormon. Darah diambil untuk pengujian pada pagi hari sebagai kadar testosteron tertinggi pada waktu itu
3. Tes lainnya untuk kondisi medis tertentu yang diketahui mempengaruhi testis atau kelenjar hipofisis.

Riwayat kesehatan

Pemeriksaan klinis penting yang perlu dilakukan dalam menegakkan diagnosis adalah:
1.Kesehatan umum dan kesejahteraan
2.Riwayat reproduksi (termasuk perkembangan pada masa pubertas)
3.Status fertilitas
4.Perubahan dalam fungsi seksual, bentuk tubuh dan wajah serta pertumbuhan rambut dan distribusinya
5.Obat-obatan, suplemen dan penggunaan narkoba

Pemeriksaan fisik

Dalam melakukan pemeriksaan fisik perlu perhatian khusus kepada karakteristik seksual sekunder (atau tingkat 'maskulinitas') termasuk didalamnya adalah:
1.Distribusi rambut tubuh
2.Perkembangan otot
3.Pertumbuhan payudara (gynaecomastia) pada kecurigaan defisiensi hormon androgen;
4.Pengukuran ukuran testis (testis biasanya lebih kecil pada defisiensi hormon androgen);
5.Pemeriksaan prostat dapat juga dilakukan pada pria usia lanjut.

Tes darah

Jika pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa mungkin ada masalah testis, defisiensi androgen perlu dilakukan pengukuran jumlah testosteron dalam darah. Ketika testosteron dilepaskan ke dalam aliran darah dari testis, hanya 2% dari hormon tersebut berada dalam bentuk bebas dan dapat mempengaruhi proses perkembangan dan maturasi serta aktifitas fungsional sistem reproduksi dan seksual, sedangkan sisanya akan diikat pada carier protein 'seks-hormon binding globulin' darah. Jumlah total testosteron (free testosteron, ditambah testosteron terikat SHBG, ditambah terikat albumin testosteron) biasanya digunakan sebagai ukuran tingkat testosteron dalam aliran darah dengan demikian jumlah testosteron bebas dapat diperkirakan.
Perhitungan matematis telah digunakan untuk menghitung jumlah testosteron bebas ini. Beberapa laboratorium menggunakan metode tidak langsung lain pengukuran testosteron bebas dengan mengukur indeks androgen bebas - FAI indeks (testosteron: SHBG rasio). Sayangnya metode ini tidak valid dan ilmiah tidak berhubungan dengan baik untuk perhitungan langsung testosteron bebas pada pria.

Tes lain

Setelah rangkaian test diatas dilakukan, beberapa jenis pemeriksan laboratorium lain terkadang dapat membantu memperkuat diagnosis atau menemukan kelainan yang menjadi dasar timbulnya infertilitas, pemeriksaan tersebut meliputi:
1.Kariotipe: Tes ini dilakukan untuk melihat jumlah dan struktur kromosom, mendeteksi adanya Klinefelter's Syndrome atau masalah genetik lainnya.
2.Analisis sperma: untuk memeriksa kesuburan
3.CT scan atau MRI: Pencitraan dari kelenjar hipofisis di otak untuk dapat melihat apakah ada keterkaitan dengan hipotalamus atau hipofisis sebagai penyebab dari masalah infertilitas
4.Tes Prolaktin: Dilakukan untuk mengukur jumlah hormon prolaktin dalam aliran darah - tingkat lebih tinggi dapat merupakan pertanda dari tumor jinak (atau adenoma) dari kelenjar pituitari.
5.Tes zat besi: Dilakukan untuk mengukur mungkin kelebihan zat besi dalam darah (haemochromatosis) yang dapat menyebabkan penurunan kadar testosteron rendah.
6.Penelitian Tidur : Mengamati pola pernapasan pada saat tidur, terdapatnya sleep apnoe pada saat tidur merupakan dasar diagnosis yang cukup bermakna.

VI. Kesimpulan

Ilmu Andrologi saat ini sudah berkembang dengan cukup maju baik di Dunia maupun di Indonesia, kemajuan dan perkembangan Andrologi banyak mendapat dukungan dari bidang spesialisasi ilmu kedokteran lain dan penelitian serta penemuan ilmiah mutakhir. Peran Andrologi dalam mengatasi masalah infertilitas pada pria saat ini cukup menggembirakan, dengan makin beragamnya jenis penatalaksanaan yang mampu dilakukan, walaupun masih tertinggal dibandingkan dengan Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dalam penatalaksanaan infertilitas pada wanita, tetapi pada praktek sehari-hari Ilmu Andrologi dan Ilmu Kebidanan & Penyakit Kandungan berjalan secara simultan sehingga mampu memberi harapan bagi terlaksananya keinginan pasangan infertilitas dalam mendapatkan dambaannya untuk memiliki keturunan.
Dalam upaya memahami Andrologi berkaitan dengan peranannya sebagai jembatan dalam menangani masalah infertilitas pada pria, dibutuhkan pengetahuan mendasar mengenai anatomi sistem reproduksi dan urogenital pria serta pengaruh kendali hormon yang berperan pada sistem reproduksi pria, pengetahuan singkat mengenai saluran reproduksi pria menunjukkan suatu sistem yang terintegrasi dengan sempurna, seluruh sistem dikelola oleh androgen yang disekresi oleh testis di bawah kendali hipofisis dan hipotalamus. Penting pula untuk diingat bahwa banyak dari struktur ini secara embriologis berbeda, karenanya bila terdapat kelainan / gangguan perkembangan maka akan mempengaruhi struktur dan fungsi organ tersebut dengan cara yang berbeda pula.
Beberapa pemeriksaan dasar dalam menegakkan diagnosis infertilitas juga dijelaskan dalam bentuk ringkas dan sederhana, dengan harapan akan dapat memberikan wacana dasar. Semoga penelusuran pustaka yang singkat dan ringkas ini akan memberi wacana yang berkesan bagi pembaca.

VI. Daftar Rujukan

1. http://www.sexsehat.com/2009/05/tentang-penulis.html/. Dyan
Pramesti,dr,Sp.Andr.
2. http://www.andrologyaustralia.org/. Male Infertility
3. http://www.andrologyaustralia.org/. Male Body
4. http://www.andrologyaustralia.org/. Sistem Reproduksi Pria
5. http://id.wikipedia.org/wiki/andrologi/. andrologi

Minggu, 11 April 2010

ASPEK LEGAL DOKUMENTASI KEPERAWATAN

Anna Habayahan


I. Pendahuluan

A. Definisi

Dokumen adalah suatu catatan atau rekaman yang dapat dibuktikan keabsahannya atau dapat dijadikan bukti dalam persoalan hukum (Tungpalan, 1983). Potter & Perry, 1997, Mendefinisikan dokumentasi sebagai segala sesuatu yang tertulis atau tercetak tentang suatu pelaksanaan peristiwa tertentu atau suatu keadaan tertentu dan dapat dijadikan bukti hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah suatu rangkaian proses “action” dari mencatat atau merekam peristiwa dari sesuatu objek atau aktifitas pemberian jasa atau pelayanan yang dianggap berharga dan penting. Definisi dari dokumentasi keperawatan adalah suatu bukti dari kegiatan pencatatan atau pelaporan dari semua aktifitas yang berkaitan dengan pemberian atau pelaksanaan proses perawatan ataupun asuhan keperawatan kepada klien yang berguna bagi kepentingan klien, perawat dan mitra kerja. Dokumentasi keperawatan dapat juga diartikan sebagai suatu informasi lengkap yang meliputi status kesehatan klien, kebutuhan klien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons klien terhadap asuhan keperawatan yang diterimanya.

Proses pendokumentasian seyogyanya harus dibuat segera setelah selesai memberikan proses keperawatan kepada klien, proses pembuatannya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling berkaitan serta membentuk sirkulus yang tidak terputus. Proses tersebut dimulai dari upaya mendapatkan data melalui wawancara baik langsung atau tidak langsung, atau dapat melalui kwesioner, proses diteruskan dengan mencatat dan memilah data untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu, selanjutnya menginput data sesuai dengan jenisnya, diteruskan dengan menganalisa data yang diperlukan dengan memperhatikan data yang ditemukan oleh kolega lain, menarik kesimpulan dari data tersebut dan menentukan rencana yang akan dilakukan, melaksanakan rencana tersebut dan pada akhirnya melakukan evaluasi serta membuat umpan balik untuk menyempurnakan hasil.

B. Pelayanan Keperawatan

Pelayanan kesehatan merupakan suatu tatanan yang terdiri dari banyak komponen dimana masing-masing komponen tersebut saling berhubungan, saling mempengaruhi dan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan gabungan berbagai upaya pelayanan seperti pelayanan medik, pelayanan keperawatan, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, pelayanan rehabilitasi medik dsb, semua upaya pelayanan tersebut saling berhubungan dan berinteraksi dengan tujuan yang sama yaitu menyembuhkan penyakit atau kelainan, meringankan penderitaan ataupun meningkatkan derajat kesehatan klien. Pelayanan keperawatan sendiri mempunyai porsi yang cukup besar dan amat penting dalam tatanan pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit, sebab hampir tidak pernah ada pelayanan medik ataupun pelayanan kesehatan lain yang dilakukan tanpa dukungan pelayanan keperawatan dan begitu pula sebaliknya.

Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang didasarkan pada penerapan ilmu keperawatan yang dilaksanakan secara profesional dengan pendekatan pada aspek biopsikososial & spiritual serta berpayung pada kaidah hukum dan etika keperawatan. Pada perkembangannya ilmu keperawatan selalu berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh karenanya pelayanan keperawatan diharapkan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik, bermutu, aman, ramah dan tentu saja lebih profesional serta sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Konsep Kolaborasi yang berkembang akhir-akhir ini merupakan pilihan terbaik dalam merespons kebutuhan dan keinginan masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan yang baik, bermutu, aman dan ramah serta profesional. Kolaborasi disini diartikan sebagai kontribusi berimbang dari para praktisi kesehatan yang terikat dalam semangat kolegalitas yang bersama-sama melakukan upaya asuhan kesehatan profesional dengan tujuan kesembuhan atau meringankan penderitan klien. Sedangkan kolegalitas menekankan pada rasa saling menghargai inter dan antar profesi yang terikat dalam satu kemitraan kerja untuk bersama mengatasi masalah kesehatan klien. Sikap saling menghargai dan menghormati disertai rasa kolegalitas diantara para praktisi akan menghindari para praktisi dari kebiasan saling menyalahkan, saling merendahkan dan saling melempar tangung jawab yang dapat menimbulkan permasalahan dalam kualitas pelayanan dan dapat merupakan pintu masuk dari datangnya berbagai keluhan klien yang dapat berakibat timbulnya gugatan hukum.

II. Aspek legal Dokumentasi Keperawatan

Dalam Undang-Undang RI No.23 Tahun 1992, Tentang Kesehatan, tercantum bahwa penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. Bertolak dari dasar tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan keperawatan memegang peranan penting didalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam pelaksanaan tugas profesi keperawatan diperlukan berbagai data kesehatan klien sebagai dasar dari penentuan keputusan model asuhan keperawatan yang akan diberikan, oleh karenanya sangat diperlukan suatu proses pendokumentasian yang berisikan data dasar keperawatan, hasil pemeriksaan atau assesment keperawatan, analisa keperawatan, perencanaan tindak lanjut keperawatan. Harus diyakini bahwa keberhasilan tujuan keperawatan akan sangat bergantung pada keberhasilan mekanisme pendokumentasian.

Disamping itu berkesesuaian juga dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996, tentang tenaga kesehatan Bab I pasal 11: yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Makna yang dapat diambil dan dipahami dari Peraturan Pemerintah diatas adalah bahwa dalam melakukan tugas dan kewenangannya seorang perawat harus dapat membuat keputusan model asuhan keperawatan yang akan dilakukan, proses tersebut dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan keperawatan yang dimiliki oleh perawat, kemampuan tata kelola masalah yang dimiliki oleh perawat dan kewenangan yang melekat pada profesi keperawatan. Rangkaian proses tatalaksana masalah keperawatan tersebut digambarkan dalam suatu lingkaran tidak terputus yang terdiri dari mengumpulkan data (data collecting)  memproses data (process) luaran (output)  umpan balik (feedback), tentunya untuk dapat menunjang terlaksananya seluruh kegiatan diatas diperlukan upaya pencatatan dan pendokumentasian yang baik.

Berdasarkan Permenkes No. 269/Menkes/Per III/2008, dinyatakan bahwa rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Jelas sekali dinyatakan bahwa rekam medik berisikan berkas catatan baik catatan medik (dokter) maupun catatan paramedik (perawat) dan atau catatan petugas kesehatan lain yang berkolaborasi melakukan upaya pelayanan kesehatan dimaksud. Selain itu rekam medik juga berisikan dokumen yang dapat terdiri dari lembaran expertise pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG dll. Berdasarkan hal diatas serta melihat pada tanggung jawab atas tugas profesi dengan segala risiko tanggung gugatnya dihadapan hukum, maka dokumentasi keperawatan memang benar diakui eksistensinya dan keabsahannya serta mempunyai kedudukan yang setara dengan dokumen medik lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Permenkes yang berisikan tentang kewajiban tenaga kesehatan untuk mendokumentasikan hasil kerjanya didalam rekam kesehatan juga berlaku untuk profesi keperawatan.

III. Substansi Dasar Dokumentasi Keperawatan

Dokumen keperawatan selain merupakan salah satu alat bukti hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat melindungi diri, mitra kerja dan bahkan rumah sakit tempat bekerja dari permasalahan hukum. Perlu dipahami proses pembuatan suatu dokumen keperawatan tidak sebatas hanya mengisi data pada format yang telah disiapkan, akan tetapi juga harus mampu menterjemahkan dan mendokumentasikan semua aktifitas fungsional keperawatan yang dilakukan, Seperti diketahui tujuan dari dokumentasi keperawatan adalah:
1. Kepentingan komunikasi, yaitu : (1). Sebagai sarana koordinasi asuhan keperawatan, (2). Untuk mencegah informasi berulang, (3). Sarana untuk meminimalkan kesalahan & meningkatkan penerapan asuhan keperawatan, (4) Mengatur penggunaan waktu agar lebih efesien.
2. Memudahkan mekanisme pertanggungjawaban & tanggung gugat, karena : (1). Dapat dipertanggungjawabkan baik kualitas asuhan keperawatan dan kebenaran pelaksanaan, (2). Sebagai sarana perlindungan hukum bagi perawat bila sampai terjadi gugatan di pengadilan.

Salah satu cara untuk membuat dokumentasi keperawatan yang baik adalah selalu berfokus pada : (1). Selalu melakukan proses pencatatan yang aktual, faktual dan realistik, (2). Hasil pencatatan yang dibuat harus jelas, sistematik dan terarah, hal tersebut menjadi penting karena akurasi dan kelengkapan data dokumen keperawatan selain dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan (Gapko Dawn,1999), juga dapat menghindari kesalahan pembacaan, kesalahan dalam penilaian dan penentuan dan kesalahan dalam penatalaksanaan yang dapat membahayakan jiwa klien. Dalam membuat dokumentasi keperawatan perlu diperhatikan substansi dasar yang harus ada, hal ini dimaksudkan agar dokumen tersebut berguna dan memiliki arti untuk berbagai kepentingan baik bagi keperawatan sendiri, untuk kepentingan penelitian maupun kepentingan hukum.

Dokumentasi keperawatan dapat menjadi alat bukti hukum yang sangat penting, kebiasaan membuat dokumentasi yang baik tidak hanya mencerminkan kualitas mutu keperawatan tetapi juga membuktikan pertanggunggugatan setiap anggota tim keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan. Beberapa aturan pencatatan yang perlu diikuti agar dokumentasi keperawatan yang dibuat sesuai dengan standar hukum diantaranya :
1. Dokumentasi keperawatan yang dibuat memenuhi dan memahami dasar hukum terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek keperawatan.
2. Catatan keperawatan memberikan informasi kondisi pasien secara tepat meliputi proses keperawatan yang diberikan, evaluasi berkala dan mencerminkan kewaspadaan terhadap perburukan keadaan klien.
3. Memiliki catatan singkat komunikasi perawat dengan dokter dan intervensi perawatan yang telah dilakukan
4. Memperhatikan fakta-fakta secara tepat dan akurat mengenai penerapan proses keperawatan. Data tersebut mencakup anamnesis kesehatan, pengkajian data, diagnosis keperawatan, menentukan tujuan dan kriteria hasil, membuat rencana tindakan keparawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, membubuhkan tanda tangan dan nama terang perawat yang melaksanakan, membuat catatan keperawatan, membuat resume keperawatan serta catatan pulang atau meninggal dunia.
5. Selalu memperhatikan situasi perawatan pasien dan mencatat secara rinci masalah kesehatan pasien terutama pada pasien yang memiliki masalah yang kompleks atau penyakit yang serius.

Dalam melakukan tugasnya perawat menempati posisi terdepan dari Sistem Pelayanan Kesehatan di Ruang Rawat Inap karena perawatlah yang secara terus menerus selama 24 jam memantau perkembangan pasien dalam sudut biopsikososiokultural & spiritual. Dengan demikian peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta keberhasilan pelayanan di rumah sakit sangat bergantung pada keberhasilan asuhan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit tersebut. Mudah dipahami bila proses asuhan keperawatan tidak dilaksanakan dengan baik akan menyebabkan mutu pelayanan keperawatan menjadi kurang baik pula dan dengan demikian mutu pelayanan kesehatan rumah sakit secara keseluruhan menjadi tidak memuaskan klien.
Agar mempunyai nilai hukum maka penulisan suatu dokumentasi keperawatan sangat dianjurkan untuk memenuhi standar profesi, kelengkapan dan kejelasan mutlak disyaratkan dalam penulisan dokumen keperawatan, bila salah satu kriteria belum terpenuhi maka dokumentasi tersebut belum bisa dianggap sempurna secara hukum, beberapa upaya yang dapat dilakukan agar dokumentasi keperawatan yang dibuat dapat memenuhi persyaratan diatas yaitu:
1. Segeralah mencatat sesaat setelah selesai melaksanakan suatu asuhan keperawatan.
2. Mulailah mencatat dokumentasi dengan waktu (tanggal, bulan, tahun ) pada keadaan tertentu diperlukan pula penulisan waktu yang lebih detil (jam dan menit) serta diakhiri dengan tanda tangan dan nama jelas.
3. Catatlah fakta yang aktual dan berkaitan.
4. Catatan haruslah jelas, ditulis dengan tinta dalam bahasa yang lugas dan dapat dibaca dengan mudah.
5. Periksa kembali catatan dan koreksilah kesalahan sesegera mungkin.
6. Buatlah salinan untuk diri sendiri karena perawat harus bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas informasi yang ditulisnya.
7. Jangan menghapus atau menutup tulisan yang salah dengan cairan tipe ex atau apapun, akan tetapi buatlah satu garis mendatar pada bagian tengah tulisan yang salah, tulis kata “salah” lalu diparaf kemudian tulis catatan yang benar disebelahnya atau diatasnya agar terlihat sebagai pengganti tulisan yang salah.
8. Jangan menulis komentar yang bersifat mengkritik klien ataupun tenaga kesehatan lain. Tulislah hanya uraian obyektif perilaku klien dan tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
9. Hindari penulisan yang bersifat umum, diplomatis dan tidak terarah, akan tetapi tulislah dengan lengkap, singkat, padat dan obyektif.
10. Bila terdapat pesanan ataupun instruksi yang meragukan berilah catatan / tulisan : perlu klarifikasi
11. Jangan biarkan pada catatan akhir perawat kosong, tutuplah kalimat dengan suatu tanda baca atau titik yang jelas yang menandakan bahwa kalimat tersebut telah berakhir.

Secara statistik terdapat beberapa situasi yang memiliki kecenderungan untuk munculnya proses tuntutan hukum dalam pemberian asuhan keperawatan yaitu:

1. Kesalahan dalam administrasi pengobatan / salah memberi obat
2. Kelemahan dalam supervisi diagnosis
3. Sebagai asisten dalam tindakan bedah lalai dalam mengevaluasi peralatan operasi maupun bahan habis pakai yang digunakan (kasa steril)
4. Akibat kelalaian menyebabkan klien terancam perlukaan
5. Penghentian obat oleh perawat
6. Tidak memperhatikan teknik a dan antiseptik yang semestinya
7. Tidak mengikuti standar operasional prosedur yang seharusnya

Dengan makin meningkatnya kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan keperawatan yang baik, aman dan bermutu, maka sudah menjadi keharusan bagi profesi perawat untuk lebih maju, lebih berhati-hati, lebih mengerti kemungkinan munculnya tuntutan hukum dan lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.

IV. Penutup

Dalam proses penyembuhan dan pemulihan penyakit sangat diperlukan peran aktif dari perawat dan oleh karenanya sebagai akibat dari pelaksanaan tugas keperawatan maka diperlukan pendokumentasian dari aktifitas kerja. Selain itu perlu pula diingat bahwa dokumentasi keperawatan memiliki aspek legal yang sama kuatnya dengan dokumentasi pelayanan kesehatan lain.
Sebagai tenaga kesehatan yang mendapat kewenangan serta jaminan pengakuan profesi dari pemerintah, perawat harus bertanggung jawab sekaligus bertanggung gugat atas semua keputusan dan tindakan keperawatan yang dilakukan berkaitan dengan pemberian asuhan keperawatan, oleh karenanya pembuatan dokumentasi keperawatan merupakan hal yang mutlak perlu dilakukan sebagai alat bukti hukum dan sarana perlindungan hukum.

Secara umum paling tidak terdapat empat keadaan yang sering menyebabkan munculnya masalah hukum dan perlu dilakukan tindakan antisipatif untuk menghindarinya, kempat titik lemah itu adalah :

1. Lalai tugas (wanprestasi) yang terjadi karena keterbatasan tingkat keilmuan (lack of knowledge) dan atau ketidak terampilan (lack of skill).
2. Bekerja tidak berdasarkan pada standar operasional prosedur yang seharusnya.
3. Terdapat hubungan langsung yang menyebabkan perlukaan atau fatal, dalam arti akibat kedua hal diatas menyebabkan klien terancam dengan perlukaan atau dapat berakibat fatal bagi jiwa klien.
4. Menimbulkan kerugian baik materiel maupun moril.

Pemahaman tentang Undang-undang dan Peraturan tentang dokumen keperawatan disertai peningkatan ilmu dan keterampilan profesi keperawatan melalui pendidikan dan pelatihan, dikuti dengan perubahan sikap dan perilaku kearah yang lebih baik juga disertai dengan keinginan untuk menerapkan pencatatan dokumentasi keperawatan yang baik akan dapat menghindarkan perawat dari ancaman gugatan hukum, disamping itu dapat pula membantu dan atau menghindarkan mitra kerja ataupun rumah sakit dari gugatan hukum yang tidak perlu. Selain keuntungan diatas juga akan banyak keuntungan lain yang dapat diperoleh oleh rumah sakit, oleh karena peningkatan mutu pelayanan keperawatan akan berdampak langsung pada peningkatan kepuasan klien terhadap mutu layanan keperawatan dan tentu saja akan meningkatkan angka kunjungan rumah sakit baik rawat inap maupun rawat jalan.

V. Daftar Pustaka

1. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2001. Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta, EGC.
2. Mulyati. 2005. Pelaksanaan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan Berdasarkan Faktor Motivasi dan Supervisi Pimpinan di RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Semarang.
3. Nursalam. 2001. Dokumentasi Keperawatan. Jakarta
4. Undang-Undang No. 23, Tahun 1992. LN 1992/100; TLN NO. 3495.
5. Peraturan Pemerintah No. 32. Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 269 Menkes / Per / III / 2008.